NEWS24.CO.ID - Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati Yustinus Prastowo mengklarifikasi laporan penelitian utang tersembunyi Indonesia ke China. Riset AidData menyebutkan Indonesia berutang US$17,28 miliar atau sekitar Rp245,7 triliun.
“Informasinya tidak akurat. Itu bukan utang pemerintah,” kata Prastowo melalui akun Twitternya @prastow, Jumat, 15 Oktober 2021.
Read More : Cara Budidaya Lobster Air Tawar di Lahan Terbatas, Mulai dari Pembenihan hingga Panen
AidData adalah laboratorium penelitian pengembangan internasional yang berbasis di William & Mary's Global Research Institute. Laporan yang berjudul "Banking on the Belt and Road" dan menutupi utang tersembunyi itu, diterbitkan pada September 2021.
Tumpukan utang itu terkait dengan Inisiatif Sabuk dan Jalan China. AidData juga menyoroti proyek kereta api berkecepatan tinggi yang akan menyebabkan pemerintah menumpuk utang besar ke Beijing.
Prastowo mengatakan, itu bukan utang tersembunyi, melainkan utang nonpemerintah. “Tapi jika terjadi default, ada risiko yang bisa menyeret pemerintah,” katanya.
Read More : Kemenperin Sebut Industri Makanan dan Minuman di Indonesia Tengah Memasuki Masa Krisis
Utang dalam laporan AidData, Prastowo menggarisbawahi, berasal dari skema Business-to-Business (B2B) yang dilakukan oleh badan usaha milik negara (BUMN), bank milik negara (Himbara), Special Purpose Vehicle (SPV), joint usaha, dan sektor swasta.
Utang tersebut tidak dicatat sebagai utang pemerintah . “Pinjaman tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab [BUMN dan pihak swasta],” kata Prastowo seraya menambahkan bahwa penarikan utang luar negeri (ULN) yang dilakukan oleh pemerintah, BUMN, dan pihak swasta tercatat dalam Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI).