NEWS24.CO.ID

International

Ancaman Malaria Muncul Kembali Akibat Perubahan Iklim dan Covid-19

NEWS24.CO.ID

Foto : Jakarta Globe Foto : Jakarta Globe
https://swastikaadvertising.com/

NEWS24.CO.ID - Kawasan Asia-Pasifik berada di bawah ancaman Vector Borne Disease (VBDs) terutama dalam menghadapi perubahan iklim dan tantangan Covid-19 yang terus berkembang. Dalam studi penting baru-baru ini oleh Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa, kondisi cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim telah memberikan peningkatan rintangan untuk pengendalian penyakit.

Menurut para ahli, hubungan perubahan iklim dan Vector Borne Disease saat ini menjadi tantangan paling mendesak bagi komunitas kesehatan global.

Malaria sudah menjadi masalah di seluruh wilayah pada ketinggian yang lebih rendah sehingga suhu yang lebih hangat akan mengubah siklus pertumbuhan parasit pada nyamuk dan memungkinkan mereka berkembang lebih cepat, kata Dr. Sarthak Das, Chief Executive Officer Asia Pacific Leaders Malaria Alliance (APLMA). 


Read More : Serial The World of the Married Versi Indonesia, Mendua Soroti Perselingkuhan Rumah Tangga

Hal ini mungkin memiliki implikasi yang parah pada beban malaria.

“Perubahan iklim akan berdampak langsung dan tidak langsung pada epidemiologi VBD, kesehatan populasi, dan kemampuan negara-negara dengan sistem kesehatan yang rapuh untuk mengatasi beban penyakit yang meningkat, baik itu malaria atau VBD lainnya,” katanya dalam sebuah wawancara baru-baru ini. dengan Jakarta Globe.

Untuk meringankan bahan bakar perubahan iklim di negara-negara Asia dengan beban VBD yang lebih tinggi, Dr. Das menyarankan untuk mengintegrasikan informasi terkait iklim ke dalam rencana kesiapsiagaan dan melakukan penelitian investigasi.

“Model yang digunakan untuk menilai dampak perubahan iklim pada transmisi VBD harus mengintegrasikan variabel yang berinteraksi dengan lingkungan dan VBD, kemudian memasukkan intervensi manusia dan konteks sosial,” tambahnya.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, Indonesia bertanggung jawab atas 21 persen kasus malaria di kawasan Asia Tenggara dan 16 persen kematian akibat malaria. Meski sebagai salah satu dari sembilan negara endemis malaria di kawasan, total 285 kabupaten telah mencapai negara bebas malaria pada 2018. Sayangnya, pandemi Covid-19 telah memukul keras pengendalian penyakit seperti yang dibahas para ahli lebih lanjut.

Dr Das mengatakan pandemi telah mengganggu program dasar pengendalian malaria seperti pembagian kelambu yang meningkatkan risiko malaria dan menghambat upaya pencapaian target eliminasi nasional dalam kasus Indonesia.

“Namun, kemajuan lintas batas seiring dengan upaya pengendalian malaria terhambat karena pandemi Covid-19 yang terus berdampak besar bagi Indonesia.” dia berkata.

Meski dalam World Malaria Report 2020, Indonesia berada di urutan kedua setelah India dalam jumlah kasus malaria, Dr. Das dan rekan ilmuwan Indonesia Dr. Didik Budijanto yakin dengan tujuan Indonesia untuk menghilangkan malaria pada tahun 2030.

Dr. Didik mengatakan Indonesia telah membuat langkah positif dalam menyesuaikan upaya untuk daerah beban tinggi dari menyesuaikan bantuan teknis untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dengan kader terlatih seperti Tenaga Kesehatan Masyarakat.

“Negara ini telah hampir mengurangi separuh beban malarianya dari 2010 hingga 2019. Namun negara ini terbukti sangat tangguh di provinsi-provinsi terpencil di timur termasuk Papua, Papua Barat, Maluku dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan Papua menyumbang 86 persen dari semua kasus. nasional,” kata Didik, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Penyakit Zoonosis Kementerian Kesehatan RI.

Untuk pengembangan pengendalian penyakit Indonesia di masa depan, kedua ilmuwan tersebut mengangkat pentingnya pengelolaan lingkungan dan kerjasama di kawasan. Kasus Singapura dan China dijadikan acuan.


Read More : 4 Anggota Cedera Syuting Iklan, Puma Korea Minta Maaf ke NCT 127

“Program pengendalian demam berdarah Singapura telah dipuji sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Meskipun di banyak negara pengendalian demam berdarah berada di bawah Kementerian Kesehatan, luar biasa di Singapura pengendaliannya berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Air (MEWR). Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa DBD merupakan penyakit lingkungan,” kata Dr. Das.

“Sertifikasi bebas malaria China baru-baru ini memberikan banyak keberhasilan dan pembelajaran bagi negara-negara lain dalam memerangi demam berdarah dan penyakit menular. Keberhasilan negara mencerminkan peran penting dari kolaborasi lintas sektor, pendanaan domestik dan dukungan politik yang berkelanjutan, intervensi yang ditargetkan untuk daerah pedesaan, berisiko tinggi dan perbatasan, serta memiliki infrastruktur yang tepat.” kata dr.das.

“Di luar itu, penelitian lebih lanjut tentang dampak perubahan iklim di Indonesia tentu diperlukan. Kami berharap program malaria akan mendapat rekomendasi menyusul hasil kerja sama UNICEF dengan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional pada waktunya.” tambah dr Didik.
 

Loading...

Related Article