NEWS24.CO.ID

Lifestyle

Film Keluarga Cemara Menjadi Pengingat yang Manis Akan Nilai-nilai Keluarga

NEWS24.CO.ID

Foto : Internet Foto : Internet
https://swastikaadvertising.com/

NEWS24.CO.ID - Beberapa bulan sebelum diangkat ke layar lebar, Keluarga Cemara (Keluarga Cemara) menarik perhatian publik sejak pertama kali ditayangkan di stasiun televisi RCTI pada tahun 1996. Sebanyak 412 episode dari drama TV Keluarga Cemara disiarkan, disambut hangat oleh penikmat sinetron Indonesia, meskipun saat itu standar televisi Indonesia didominasi oleh opera sabun romantis.

Keluarga Cerita berasal dari cerita pendek yang ditulis oleh penulis dan jurnalis terkenal Arswendo Atmowiloto di majalah Hai pada 1980-an. Kisah-kisah itu kemudian diterbitkan oleh Gramedia dalam enam judul.

Film Keluarga Cemara harus dipahami dengan merujuk pada sumbernya, cerita pendek Arswendo. Apa konteks budaya dari versi asli dan adaptasi layar peraknya?

Cerita pendek Keluarga Cemara secara implisit, dan mungkin secara tidak sadar, mencerminkan dinamika hubungan pedesaan dan perkotaan selama era Orde Baru, terutama ketika Arswendo datang ke Jakarta pada tahun 1972 dan menerbitkan Hai pada tahun 1977.

Periode ini ditandai oleh dominasi ekonomi konsumen, meningkatnya urbanisasi dan meningkatnya kekuatan rezim Orde Baru. Kisah remaja Arswendo pada saat itu tampaknya menopang kekaguman penulis pada dinamika antara masyarakat yang kuat di Jakarta dan mereka yang tinggal di luar ibukota.

Dalam cerita-cerita itu, Abah, istri dan kedua putrinya menghadapi kesulitan ekonomi yang memaksa mereka meninggalkan Jakarta dan memulai kehidupan baru di sebuah desa sederhana di Jawa Barat.

Bagi Abah, kehidupan baru menandakan dia "kembali ke akar rumput". Tapi itu masalah yang sama sekali berbeda untuk putri sulungnya, Euis. Dia harus meninggalkan kehidupan metropolitannya dan beradaptasi dengan desa yang penuh dengan penduduk yang ingin menjadi urban.

Keluarga Cemara adalah dunia yang penuh dengan orang-orang yang berjuang dengan perubahan sosial dan gagasan kekayaan mengacu pada Jakarta. Ada Ceu Salma, rentenir, dan Tante Pressier, seorang wanita kaya baru, dan Abah yang bekerja sebagai tukang becak dan tukang batu untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Anak perempuan Abah, Cemara atau Ara, juga menghadapi perjuangannya sendiri dengan keadaan keluarga yang kurang beruntung: dia bermimpi membeli botol minum dan sepasang sepatu yang keluarganya tidak mampu untuk membelinya. Perjuangan Ara yang digambarkan dalam Hai seringkali dikontraskan dengan kehidupan Pipin, putri Tante Pressier.

Dalam buku Keluarga Cemara: Baju Pengantin (Keluarga Cemara: Gaun Pengantin, 2001), Arswendo bertanya, “Siapa yang sebenarnya lebih bahagia dan lebih penuh harapan? Apakah Ara yang bermimpi memiliki sepatu baru, atau Pipin yang tidak memiliki kesempatan untuk bermimpi karena semuanya tersedia? "

Bagi Ara dan saudara-saudaranya, keinginan untuk membeli barang sering kali menjadi ujian kejujuran dan rasa terima kasih mereka. Keluarga menjadi sumber kekuatan moral karakternya dalam menghadapi perubahan sosial yang diwakili oleh perilaku orang-orang di sekitarnya.

Film Keluarga Cemara, yang ditulis oleh Gina S. Noer, menawarkan sudut pandang yang berbeda tentang hubungan perkotaan-pedesaan dibandingkan dengan kisah aslinya.

Euis (Zara dari girlband JKT 48) tampil sangat urban. Dia adalah penari modern, pengguna ponsel pintar dan fasih berbahasa Inggris. Tetapi ketika dia pindah ke desa, tidak ada teman sekolahnya yang fasih berbahasa Inggris. Interaksi aneh Euis dengan penduduk desa menawarkan momen-momen humor yang menyegarkan.

Komedi serupa muncul di adegan yang melibatkan Abah (Ringgo Agus Rahman) dan orang-orang di lingkungan kerjanya. Ceu Salma, yang dimainkan dengan sangat mengesankan oleh Asri Welas, menonjol dengan rasa percaya dirinya yang tinggi meskipun bahasa Inggrisnya tidak terlalu fasih. Dia menggunkan bahasa Inggris di hampir setiap adegan di mana dia berada.

Film ini, bagaimanapun, tidak menunjukkan komikalitas dalam perilaku "aneh" Abah, istrinya Emak dan Euis sebagai warga kota yang berubah menjadi penduduk desa.

Meskipun demikian, humor dalam film ini adalah salah satu kekuatan utama dan membuatnya layak ditonton melalui durasinya yang cukup lama.

Tingkah laku Ara yang polos, dimainkan dengan gembira oleh Widuri Putri, juga menawarkan beberapa momen lucu. Ara memang merupakan jantung dari film ini. Dia mewujudkan harapan dan kejujuran yang ditawarkan oleh film.

Ara bertepuk tangan dengan gembira ketika Abah mengumumkan kebangkrutan keluarga. Ara menyambut hangat kehamilan Emak, yang sebenarnya menimbulkan lebih banyak beban keuangan bagi keluarga. Ara ingin tetap berusia tujuh tahun selamanya karena takut jika dia tumbuh setua Euis.

Film ini menempatkan konflik Euis - Abah dalam alur cerita utama. Euis menunjukkan keengganannya pada Abah karena melanggar janjinya. Ketika Euis ingin melihat teman lamanya dari Jakarta, Abah marah dan melarangnya pergi. Ketika Abah membawa Euis ke sekolah dengan ojek, Euis tidak menanggapi ciuman jarak jauh Abah.

Dalam film itu, Abah tidak lagi menjadi pengemudi becak seperti dalam cerita aslinya meskipun becak hadir untuk nostalgia.

Ketika konflik mencapai puncaknya, film ini menyampaikan pesannya: kembali ke keluarga.

Keluarga Cemara berfokus pada kohesi keluarga. Ini menggambarkan kejujuran sebagai tantangan serta nilai inti dalam menjaga keluarga bersama. Abah melakukan kesalahan yang sama ketika dia bertindak tegas di depan keluarganya tanpa mengakui bahwa dia mendambakan perhatian dan kasih sayang keluarga.

Pesan kohesi keluarga memang relevan dengan situasi sosial saat ini. Dua puluh tahun setelah era Reformasi pada tahun 1998, kami menyaksikan bagaimana konflik horizontal yang timbul dari identitas dan politik praktis menimbulkan tantangan berat bagi tatanan sosial kita. Kohesi sosial tampaknya sangat sulit untuk dicapai karena orang terlibat dalam perdebatan politik yang memanas di media sosial dan kelompok WhatsApp.

Karena itu masuk akal jika film ini mengusulkan kekompakan keluarga sebagai solusi.

Film ini mengajak kita untuk percaya bahwa keluarga yang baik dan kohesif adalah aset untuk melakukan perbuatan baik dan menyebarkan kebajikan dalam hidup. Meskipun secara ilmiah mungkin tidak akurat, sesekali kita juga perlu menghargai aspirasi manis semacam itu.

 

 

NEWS24.CO.ID/RED/DEV

Loading...

Related Article